Friday 28 February 2014

Code of Ethics Lawyer

Infrastructure System Code Advocate
To support the proper functioning of the legal system needed an ethical system that is enforced in a positive form of code of ethics in the public sector . In every sector of state and government regulations are always rules and guidelines of the organization and working procedures of which are internal . In the neighborhood community organizations are also always there 's Articles of Association and Articles of Association or the Guidelines or Guidelines Household organization . However , only very few of the organizations or institutions that have had the Code of Ethics which is accompanied by the institutional infrastructure of the Honorary Board or Ethics Committee in charge of enforcing the code of ethics intended . In addition , even if the guidelines or statutes and the existing household , the documents that exist only on paper in the sense of not really be used to guide organizational behavior . In general , regulatory documents , guidelines or statutes of the household and only be opened and read at the time of the congress , conference or national consensus organization concerned . The rest , these documents are just plain forgettable .

Similarly, the presence of the Advocate Law teleh determine liability lawyer draw up a code of professional conduct by an Advocate to maintain the dignity and honor of the profession advocate . Every advocate shall be subject to and comply with the code of ethics and rules of professional advocate Advocate Organization Honor Council . Applies whether or not these codes relies entirely to advocate and an Advocate .

For it is necessary to build the infrastructure so that the code of ethics that is made can be enforced . The infrastructure needs a culture within the letter of the law itself advocates , both state laws and rules of association and articles of association including household and professional code of ethics . Tradition obey these rules are still to be cultivated extensively . In addition , system and code of ethics enforcement mechanism should also be institutionalized through the establishment of a credible Honor Council followed with strict oversight mechanisms and effective .

As a professional organization that provides services to the community , which made ​​supervision mechanism should certainly also open space for public participation and follow the principle of transparency . In the absence of transparency and public participation , an Advocate will not be able to function to improve the quality advocate for the sake of law and justice in accordance with the mandate of the Advocate Law .

So little discussion regarding the Code of Ethics of Advocates , which may be useful for reading .

Peran Advokat Dalam Menegakkan Hukum

Dalam Pembelaannya terhadap Kliennya, advokat lah yang paling mengetahui pasal-pasal apa yang akan di kenakan pada kliennya ataupun lawan hukumnya di dalam peradilan, maka dengan itu Peran Advokat Dalam  Penegakan Hukum sangat di perlukan.  
Pada Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, badan-ban lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah satunya adalah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab, sebagaimana selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. 

http://hukumperdatadanpidana.blogspot.com/Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Oleh karena itu, Organisasi Advokat, yaitu PERADI, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara.

Dengan demikian, profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat. 

Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat, tentu harus diikuti oleh adanya tanggungjawab masing-masing advokat dan Organisasi Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU Advokat telah memberikan rambu-rambu agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal yang paling mudah dilihat adalah dari sumpah atau janji advokat yang dilakukan sebelum menjalankan profesinya, yaitu: 

“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji : 
  • bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia; 
  • bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga; 
  • bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan; 
  • bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani; 
  • bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat; 
  • bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat. 
Sumpah tersebut pada hakikatnya adalah janji seorang yang akan menjalani profesi sebagai advokat, kepada Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat. Seandainya setiap advokat tidak hanya mengucapkannya sebagai formalitas, tetapi meresapi, meneguhi, dan menjalankannya, tentu kondisi penegakan hukum akan senantiasa meningkat lebih baik. Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat menegakkan hukum dan keadilan. 

Selain itu, untuk mewujudkan profesi advokat yang berfungsi sebagai penegak hukum dan keadilan juga ditentukan oleh peran Organisasi Advokat. UU Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakan-tindakan terhadap pelanggaran, dan pemberhentian advokat yang pelaksanaannya dijalankan oleh Organisasi Advokat. Ketentuan Pasal 6 UU Advokat misalnya menentukan bahwa advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan: 
  1. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya; 
  2. berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya; 
  3. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan; 
  4. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya; 
  5. melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau perbuatan tercela; 
  6. melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat. 
Daftar Pustaka
1. Huruf B Konsideran Menimbang UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. 
2. Lihat Pertimbangan Hukum Putusan MK Nomor 014/PUU-IV/2006 mengenai Pengujian Undang-
    Undang Advokat.

Peran Advokat Dalam Penegakan Hukum

Advokat atau Kuasa Hukum dalam suatu perkara yang ditanganinya mempunyai peran yang sangat penting diantaranya adalah :

A. CITA NEGARA HUKUM DAN SISTEM HUKUM NASIONAL 
Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the foun­ding fathers sebagai suatu Negara Hukum (Rechtsstaat/ The Rule of Law). UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Namun, bagaimana cetak biru dan desain makro penjabaran ide negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral. Oleh karena itu, hukum hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Apalagi, negara hendak dipahami sebagai suatu kon­sep hukum, yaitu sebagai Negara Hukum. Dalam hukum se­ba­gai suatu kesatuan sistem terdapat (1) elemen kelembagaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan (ele­men instrumental), dan (3) elemen perilaku para
http://hukumperdatadanpidana.blogspot.com/
subjek hu­kum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan atau pene­rapan hukum (law administrating), dan (c) kegiatan per­adil­an atas pelanggaran hukum (law adjudicating). Biasanya, kegiatan terakhir lazim juga disebut sebagai kegiatan pene­gakan hukum dalam arti yang sempit (law enforcement) yang di bidang pidana melibatkan peran kepolisian, kejaksa­an, advokat, dan kehakiman atau di bidang perdata melibat­kan peran advokat (pengacara) dan kehakiman. Selain itu, ada pula kegiatan lain yang sering dilupakan orang, yaitu: (d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education) dalam arti seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan (e) pengelolaan informasi hukum (law infor­mation management) sebagai kegiatan penunjang. Ke­lima kegiatan itu biasanya dibagi ke dalam tiga wilayah fung­si kekuasaan negara, yaitu (i) fungsi legislasi dan regulasi, (ii) fungsi eksekutif dan administratif, serta (iii) fungsi yudikatif atau judisial. Organ legislatif adalah lembaga parlemen, organ eksekutif adalah birokrasi pemerintahan, sedangkan organ judikatif adalah birokrasi aparatur penegakan hukum yang mencakup kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kese­mua itu harus pula dihubungkan dengan hirarkinya masing-masing mulai dari organ tertinggi sampai terendah, yaitu yang terkait dengan aparatur tingkat pusat, aparatur tingkat provinsi, dan aparatur tingkat kabupaten/kota. 

Dalam keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah, tercakup pengertian sistem hukum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indo­nesia berdasarkan UUD 1945. Jika dinamika yang berkenaan dengan keseluruhan aspek, elemen, hirarki dan komponen tersebut tidak bekerja secara seimbang dan sinergis, maka hukum sebagai satu kesatuan sistem juga tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, karena bangsa kita mewarisi tradisi hukum Eropa Konti­nen­tal (civil law), kita cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi kurang memberikan perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan penegakan hukum (law enforcing). Bah­kan, kitapun dengan begitu saja menganut paradigma dan doktrin berpikir yang lazim dalam sistem civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga di­akui universal, yaitu persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Orang kaya di Jakarta harus diperlakukan sama oleh hukum dengan orang miskin di daerah terpencil di Mentawai (Sumbar), di Lembah Baliem (Papua), suku Kubu di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan, ataupun suku ter­pencil di pulau-pulau kecil di seluruh wilayah Nusantara. 

Teori fiktie di atas memang fiktie sifatnya atau hayalan saja, karena tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya. Untuk lingkungan negara-negara maju dan apalagi kecil seperti Belanda dengan tingkat kesejahteraan dan pengeta­huan masyarakatnya yang merata, tentu tidak ada persoalan dengan teori fiktie itu. Dalam masyarakat homogen seperti itu informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat bersifat simetris. Tetapi di negara yang demikian besar wilayahnya, begitu banyak pula jumlah penduduknya, serta miskin dan terbelakang pula kondisi kesejahteraan dan pendidikan­nya seperti Indonesia, sudah tentu sistem informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat tidak bersifat simetris. Tidaklah adil untuk memaksakan berlaku sesuatu norma hukum ke­pada mereka yang sama sekali tidak mengerti, tidak terlibat, dan tidak terjangkau pengetahuannya tentang norma aturan yang diberlakukan itu kepadanya. Jika dalam norma aturan itu terjadi proses kriminalisasi, sudah tentu orang yang bersangkutan terancam menjadi kriminal tanpa ia sendiri menyadarinya. Oleh karena itu, di samping adanya dan di antara kegiatan pembuatan hukum (law making) dan pe­negakan hukum (law enforcing), diperlukan kegiatan, yaitu pemasya­rakatan hukum (law socialization) yang cenderung diabaikan dan di­anggap tidak penting selama ini. Padahal, inilah kunci tegaknya hukum. Tanpa basis sosial yang me­nyadari hak dan kewajibannya seca­ra hukum, maka hukum apapun yang dibuat tidak akan efektif, tidak akan tegak, dan tidak akan ditaati dengan sungguh-sungguh. 

Oleh karena itu, memahami hukum secara kompre­hen­sif sebagai suatu sistem yang terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja, ataupun hanya dengan melihat salah satu elemen atau aspek saja dari keseluruhan sistem hukum tersebut di atas. Itulah sebabnya, saya sering mengemukakan penting kita sebagai bangsa menyusun dan merumuskan mengenai apa yang kita maksud dengan konsepsi Negara Hukum Indonesia yang diamanatkan dalam UUD 1945, terutama sekarang telah ditegaskan dalam rumusan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Semua lembaga atau institusi hukum yang ada hen­daklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang perlu dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum itu. Untuk itu, bangsa Indonesia perlu menyusun suatu blue-print, suatu desain makro tentang Negara Hukum dan Sistem Hukum Indonesia yang hendak kita bangun dan tegakkan di masa depan. 

B. PENEGAKAN HUKUM 
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun me­lalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian seng­keta lainnya (alternative desputes or conflicts resolu­tion). Bah­kan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiat­an pe­ne­gakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang di­mak­sudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah norma­tif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam se­gala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-be­nar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mesti­nya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu me­nyang­kut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau pe­nyimpangan terhadap peraturan perundang-undang­an, khu­susnya –yang lebih sempit lagi— melalui proses per­adil­an pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, ke­jak­saan, advokat atau pengacara, dan badan-badan per­adilan. 

Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranan­nya sangat menonjol dalam proses penegakan hu­kum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim. Para pe­ne­gak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian perso­alan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, peja­bat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau orga­nisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kaca­mata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum terinsti­tusio­na­lisasikan secara rasional dan impersonal (institutio­na­lized). Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional. 

Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi (i) legislator (politisi) (ii) perancang hukum (legal drafter), (iii) advokat, (iv) notaris, (v) pejabat pembuat akta tanah, (vi) polisi, (vii) jaksa, (viii) panitera, (ix) hakim, dan (x) arbiter atau wasit. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi na­sional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pen­didikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut. 

Agenda pengembangan kualitas profesional di kalang­an profesi hukum ini perlu dipisahkan dari program pembi­naan pegawai administrasi di lingkungan lembaga-lembaga hukum tersebut, seperti di pengadilan ataupun di lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian, orientasi peningkatan mutu aparat hukum ini dapat benar-benar dikembangkan secara terarah dan berkesi­nambung­an. Di samping itu, pem­bi­naan kualitas profesional aparat hukum ini dapat pula dila­kukan melalui peningkatan keberdayaan organisasi profesi­nya masing-masing, seperti Ikatan Hakim Indonesia, Persatuan Advokat Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia, dan sebagainya. 

Di samping itu, agenda penegakan hukum juga me­mer­lukan kepemimpinan dalam semua tingkatan yang me­menuhi dua syarat. Pertama, kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk tindakan-tindakan penegakan hukum yang pasti; Kedua, kepemim­pinan tersebut diharapkan dapat menjadi teladan bagi ling­kungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai integri­tas kepri­badian orang yang taat aturan. 

Salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah proses pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law socialization and law education). Tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat, nonsens suatu norma hukum da­pat diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, agenda pem­bu­dayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka perwujudan ide nega­­ra hukum di masa depan. Beberapa faktor yang terkait de­ngan soal ini adalah (a) pembangunan dan pengelolaan sis­tem dan infra struktur informasi hukum yang berbasis tek­nologi informasi (information technology); (b) pening­katan Upaya Publikasi, Ko­munikasi dan Sosialisasi Hukum; (c) pengembangan pendidikan dan pelatihan hukum; dan (d) pemasyarakatan citra dan keteladanan-keteladanan di bi­dang hukum. 

Dalam rangka komunikasi hukum, perlu dipikirkan kembali kebutuhan adanya media digital dan elektro­nika, baik radio, televisi maupun jaringan internet dan media lain­nya yang dimiliki dan dikelola khusus oleh pemerintah. Me­nge­nai televisi dan radio dapat dikatakan bahwa televisi dan radio swasta sudah sangat banyak dan karena itu, ke­mung­kinan terjadinya dominasi arus informasi sepihak dari peme­rintah seperti terjadi selama masa Orde Baru tidak mung­kin lagi terjadi. Karena itu, sumber informasi dari masyarakat dan dari pemodal sudah tersedia sangat banyak dan bera­gam. Namun, arus informasi dari pemerintah kepa­da ma­sya­rakat, khususnya berkenaan dengan pendidikan dan pe­ma­sya­­rakatan hukum terasa sangat kurang. Untuk itu, pem­ba­ngunan media khusus tersebut dirasakan sangat di­perlu­kan. Kebijakan semacam ini perlu dipertimbangkan ter­ma­suk me­ngenai kemungkinan memperkuat kedudukan TVRI dan RRI sebagai media pendidikan hukum seperti yang dimaksud. 



Daftar Bacaan :
  1. Pasal 1 ayat (3) ini merupakan hasil Perubahan Keempat UUD 1945. 
  2. Montesquieu, The Spirit of the laws, Translated by Thomas Nugent, (London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914), Part XI, Chapter 67. 
  3. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New York; Russell & Russell, 1961), hal. 115 dan 123-124. 
  4. Untuk sementara ini, para politisi sebagai legislator di lembaga perwa­kilan memang belum dapat dikategorikan sebagai profesi yang tersendiri. Akan tetapi, di lingkungan sistem politik yang sudah mapan dan peran-peran profesional telah terbagi sangat ketat, jabatan sebagai anggota parlemen juga dapat berkembang makin lama makin profesional. Politisi lama kelamaan menjadi profesi karena menjadi pilihan hidup profesional dalam masyarakat. 

Sunday 23 February 2014

Contoh Surat Putusan Hakim Tindak Pidana

Kita ketahui bahwa Putusan yang diberikan Oleh Hakim kepada Suatu Kasus Perkara tidak boleh ada yang meng intervensi, dan apaila sang Pelaku yang di tindak merasa keberatan maka dia bisa naik banding ke Kasasi, dan apabila juga putusan dari Kasasi tidak memuaskan maka bisa dan berikut ini adalah contoh kecil dari Surat Putusan Hakim dalam kasus Tindak Pidana Pengadilan Negeri :


P U T U S A N
Nomor : 29/Pid/2011/PT.SULTRA


DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
http://hukumperdatadanpidana.blogspot.com/     Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara di Kendari yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam tingkat banding, telah menjatuhkan putusan seperti tersebut dibawah ini dalam perkara terdakwa :
Nama lengkap          : RITMANTO ALS RIT Bin RATA
Tempat lahir          : Meluhu
Umur/Tgl.lahir        : 22 Tahun/18 Pebruari 1988
Jenis Kelamin         : Laki-laki;
Kebangsaan            : Indonesia;
Tempat tinggal        : Kelurahan  Meluhu,  Kecamatan   Melulu, Kabupaten Konawe
A g a m a             : Islam;
Pekerjaan             : Mahasiswa;
Terdakwa tidak didampingi Penasehat Hukum ;
Terdakwa tidak pernah ditahan

      Pengadilan Tinggi tersebut ;
      Setelah membaca :
      1.Penetapan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara tanggal 4 Mei 2011 No. 29/Pen.Pid/2011/PT.Sultra tentang penunjukan Majelis Hakim yang akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut dalam tingkat banding ;
      2.Berkas perkara dan surat-surat yang berhubungan serta turunan resmi putusan Pengadilan Negeri Unaaha tanggal 29 Maret 2011 Nomor : 222/Pid.B/2010/PN.Unh dalam perkara tersebut diatas ;
Menimbang, bahwa berdasarkan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tanggal 6 Desember 2010 No.Reg.Perk: PDM-306/Rp.9/Ep/11/2010 Terdakwa didakwa sebagai berikut :
 Dakwaan :
Bahwa ia Terdakwa RITMANTO Als.RIT Bin RATA pada hari Kamis tanggal 25 Februari 2010 sekira pukul 11.00 Wita atau setidak-tidaknya pada waktu tertentu dalam bulan Februari tahun 2010, bertempat di Kel. Melulu Kec. Melulu Kab. Konawe atau setidak-tidaknya pada waktu tertentu yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Unaaha yang berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya, telah melantarkan orang lain yakni WIDYA PRANASTUTI (isteri terdakwa) dalam lingkup rumah tangganya sesuai dalam kutipan akta nikah nomor : 11/04/III/2010 tanggal 25 Februari 2010.
Adapun perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara sebagai berikut :--------------------------------------------------
      Berawal pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, ketika terdakwa RITMANTO Als.RIT Bin RATA telah menikahi saksi korban WIDYA PRANASTUTI secara sah menurut hukum, akan tetapi sejak pernikahan tersebut terdakwa langsung pergi meninggalkan saksi korban yang merupakan isteri sah dari terdakwa dan tidak memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada saksi korbansehingga saksi korban merasa keboratan dan melaporkan perbuatan terdakwa ke Polsek Wawotobi untuk diproses secara hukum.---
      Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 49 huruf a UU RI No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.----------
Menimbang, bahwa berdasarkan surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum tertanggal 08 Maret 2011 No.Reg.Perkara: 306/RP-9/Ep/11/2010 Terdakwa  telah dituntut sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa RITMANTO Als.RIT.Bin RATA bersalah menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 49 a ayat 1 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dengan perintah terdakwa untuk ditahan di Rutan ;
3. Menyatakan barang bukti berupa :
   - Satu(1) buah surat nikah warna biru dengan nomor : 11/04/III/2010, atas nama WIDYA PRANANTUTI dan RITMANTO Bin RATA.
     Dikembalikan kepada yang berhak
4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,-(dua ribu rupiah).   
Menimbang, bahwa berdasarkan atas tuntutan tersebut, Pengadilan Negeri Unaaha telah menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa RITMANTO.Als. RIT Bin RATA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menelantarkan Orang Lain Dalam Rumah Tangga”;-----------------------------------------------
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa RITMANTOAls. RIT Bin RATA oleh oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan ;----------------------------
3. Menetapkan barang bukti berupa :
   - Satu(1) buah surat nikah warna biru dengan nomor : 11/04/III/2010, atas nama WIDYA PRANANTUTI dan RITMANTO Bin RATA.
  Dikembalikan kepada yang berhak yaitu RITMANTO atau     WIDYA PRANASTUTI;---------------------------------------
4.Membebankan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar    Rp. 2.000,-(dua ribu rupiah) ;--------------------------

Menimbang, bahwa terhadap putusan tersebut Terdakwa telah menyatakan permintaan banding dihadapan Panitera Pengadilan Negeri Unaaha pada tanggal 30 Maret 2011 sebagaimana ternyata dari Akta permintaan banding Nomor : 02/Akta.Pid/2011/PN.Unh dan permintaan banding tersebut telah diberitahukan dengan cara seksama kepada Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 7 April 2011 ;------------------
Menimbang, bahwa sehubungan dengan permintaan banding tersebut terdakwa telah mengajukan memori banding tertanggal 9 April 2011 dan memori banding tersebut telah diberitahukan kepada Jaksa penuntut Umum dengan cara seksama pada tanggal 18 April 2011 ;-----------------------
Menimbang, bahwa atas memori banding terdakwa tersebut, Jaksa Penuntut Umum tidak mengajukan Kontra memori banding ;-------------------------------------------
Menimbang, bahwa permintaan akan pemeriksaan dalam tingkat banding banding oleh terdakwa telah diajukan dalam tenggang waktu dan cara serta syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang, maka permintaan banding tersebut dapat diterima ;-------------------------------------------------
Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi mempelajari dengan seksama berkas perkara dan turunan resmi putusan Pengadilan Negeri Unaaha tanggal 29 Maret 2011 Nomor : 222/Pid.B/2010/PN.Unh serta memori banding dari terdakwa, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara sependapat dengan pertimbangan Majelis hakim Tingkat Pertama dalam putusannya bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menelantarkan Orang Lain Dalam Rumah Tangga”; oleh karena itu pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama tersebut diambil alih dan dijadikan sebagai pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi sendiri dalam memutus perkara ini dalam tingkat banding, kecuali pidana yang telah dijatuhkan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama menurut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi masih terlalu ringan sekalipun putusannya telah melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu selama 7 (tujuh) bulan dan lebih adil apabila terdakwa dijatuhi pidana seperti yang akan disebut dalam amar putusan dibawah ini ;---------------------------
Menimbang, bahwa mengingat suatu pidana/hukuman yang akan dijatuhkan kepada seorang terdakwa tidak hanya untuk mendidik terdakwa sendiri saja, tetapi juga sebagai contoh bagi masyarakat lainnya agar tidak berbuat serupa dengan terdakwa, sehingga pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa haruslah setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukannya ;---------------------------------------------
Menimbang, bahwa oleh karena itu disamping pertimbangan-pertimbangan yang memberatkan yang telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama, maka menurut Majelis hakim Pengadilan Tinggi hal-hal lain yang memberatkan terdakwa sehingga memperberat hukuman bagi terdakwa adalah sebagai berikut :
1. Bahwa terdakwa ternyata adalah seorang Mahasiswa Fakultas Kejuruan dan Ilmu Pendidikan pada Universitas Lakidende, calon pendidik atau calon Intelektual dimasa depan yang seharusnya tidak berbuat hal yang demikian ;----------------------
2. Maksud terdakwa melaksanakan perkawinan secara sah semata-mata hanya untuk menghindarkan diri dari tahanan Kepolisian atas laporan korban dan keluarganya karena terdakwa telah mengakui menyetubui korban sebanyak empat kali sebelum terjadinya perkawinan tetapi tidak mau mempertanggung jawabkan perbuatannya ;-----------
3. Bahwa dari fakta persidangan ternyata pula terdakwa tidak sayang lagi sama isterinya (korban) ;---------------------------------------
      Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara menolak alasan-alasan yang dikemukakan oleh terdakwa/Pembanding dalam memori bandingnya pada halaman 3 (tiga) pada pokoknya menyebutkan terdakwa melaksanakan perkawinan karena terpaksa untuk mengikuti dan memenuhi keinginan orang tua saja dan terdakwa belum siap/layak untuk berumah tangga karena terdakwa masih kuliah dan belum memiliki pendapatan dan masih dibiayai oleh orang tua, sehingga terdakwa tidak menghendaki perkawinannya dengan korban;-------------------
Menimbang, bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas berarti terdakwa menyadari akan statusnya, tapi kenapa mau berbuat ternyatatidak mau bertanggung jawab, mahkota seorang wanita, tidak ada harganya bagi terdakwa, seolah-olah barang mainan saja ;---------------------------
Menimbang, bahwa selanjutnya terdakwa dalam memori bandingnya menyebutkan apabila terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan, sudah pasti kehidupan korban (saksi Wiya Pranastuti) akan semakin tidak menentu, namun sekiranya dengan pembebasan hukuman dan atau pidana bersyarat pada diri terdakwa maka terdakwa akan kembali berusaha untuk membinahubungan baik dengan isterinya ;-----
Menimbang, bahwa alasan terdakwa tersebut diatas menurut Majelis Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara hanya sekedar basa basi dan mengada-ada saja, karena telah terungkap dipersidangan terdakwa menyatakan dengan tegas sudah tidak sayang lagi sama isterinya yang baru saja dinikahkan dan langsung pergi hari itu juga dan tidak pernah kembali sampai dengan saat ini, oleh karena itu alasan-alasan memori banding yang diajukan oleh terdakwa haruslah ditolak untuk seluruhnya, karena tidak beralasan hukum ;------------------------------------------
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbagan tersebut diatas, maka putusan Pengadilan Negeri Unaaha haruslah diperbaiki sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, sedangkan putusan selebihnya dapat dikuatkan, yang amarnya sebagaimana tersebut dibawah ini :-
Menimbang, bahwa karena terdakwa dijatuhi pidana maka kepadanya dibebani membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan ;----------------------------------------
Mengingat pasal 241/KUHAP dan Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta ketentuan-ketentuan hukum lain yang bersangkutan dengan perkara ini ;--------------------------
M E N G A D I L I
-  Menerima permintaan banding dari terdakwa ;-------------
-  Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Unaaha tanggal 29 Maret 2011 Nomor 222/Pid.B/2010/PN.Unh sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa sehingga amarnya berbunyi sebagai berikut ;
- Menghukum terdakwa RITMANTO Als.RIT Bin RATA, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan;-------------------------------------
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Unaaha tersebut untuk selebihnya ;--------------------------------------
- Membebankan biaya perkara kepada terdakwa dalam kedua tingkat peradilan, sedang ditingkat banding sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) ;----------------------------
Demikian diputuskan dalam rapat  permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pada hari Senin, tanggal 23 Mei 2011, oleh kami H. HERMAN NURMAN,SH.,MH  sebagai Ketua Majelis dengan, R.YULIANA RAHADHIE,SH  dan H. DASNIEL, SH masing-masing sebagai Hakim Anggota, berdasarkan Penetapan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi sulawesi Tenggara tanggal 4 Mei 2011 Nomor: 29/Pen.Pid/2011/PT.Sultra untuk memeriksa dan mengadili perkara ini dalam tingkat banding dan putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal 24 Mei 2011, oleh Hakim Ketua Majelis tersebut dengan dihadiri Hakim-Hakim Anggota, serta dibantu oleh : MUUMA Panitera Pengganti pada Pengadilan Tinggi tersebut, tanpa dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa ;

    Hakim Anggota ;                 Hakim Ketua ;


         Ttd                            Ttd
                                    
  R.YULIANA RAHADHIE,SH           H.     HERMAN NURMAN,SH.,MH
      
              
                                 Ttd                  
                                                                                
      H. DASNIEL, SH.

Panitera Pengganti :


                       Ttd
                      
                                                 M U U M A


Untuk turunan sesuai aslinya
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara
WAKIL PANITERA


LA ODE MULAWARMAN, SH.
NIP. 19641231199503 1 013


Demikian contoh Surat Putusan Tindak Pidana pada Pengadilan Negeri, semoga bermanfaat.


Friday 21 February 2014

Undang-Undang Tentang Perpajakan


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
 Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.
  
Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
a.         Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3459);
b.         Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3567);
c.         Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);

diubah sebagai berikut:

1.         Ketentuan Pasal 1 substansi tetap dan Penjelasannya diubah sehingga rumusan Penjelasan Pasal 1 adalah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal demi Pasal Angka 1 Undang-Undang ini.
2.         Ketentuan Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (5) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
            
Pasal 2

            (1)        Yang menjadi subjek pajak adalah:
a.         1.         orang pribadi;
2.         warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
                        b.         badan; dan
                        c.         bentuk usaha tetap.
(1a)      Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
 (2)       Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
 (3)       Subjek pajak dalam negeri adalah:
a.         orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b.         badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1.         pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.         pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3.         penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
4.         pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
c.         warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
 (4)       Subjek pajak luar negeri adalah:
a.         orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
b.         orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
 (5)       Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a.         tempat kedudukan manajemen;
b.         cabang perusahaan;
c.         kantor perwakilan;
d.         gedung kantor;
e.         pabrik;
f.          bengkel;
g.         gudang;
h.         ruang untuk promosi dan penjualan;
i.          pertambangan dan penggalian sumber alam;
j.          wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k.         perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
l.          proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m.        pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n.         orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o.         agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
p.         komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
 (6)       Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.

3.         Ketentuan Pasal 3 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (2) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
  
Pasal 3

 (1)       Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
 a.        kantor perwakilan negara asing;
 b.        pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
 c.        organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1.         Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan
2.         tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
 d.        pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
(2)        Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

4.         Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf h, huruf l, dan Penjelasan huruf k diubah dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf q sampai dengan huruf s, ayat (2) diubah, ayat (3) huruf a, huruf d, huruf f, huruf i, dan huruf k diubah, huruf j dihapus, dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf l, huruf m, dan huruf n sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
            
                                                                        Pasal 4

 (1)       Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a.         Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b.         hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c.         laba usaha;
d.         keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1.         keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2.         keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3.         keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4.         keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5.         keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e.         penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f.          bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g.         dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h.         royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i.          sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j.          penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k.         keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l.          keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m.        selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n.         premi asuransi;
o.         iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p.         tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q.         penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r.          imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s.          surplus Bank Indonesia.
 (2)       Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
a.         penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b.         penghasilan berupa hadiah undian;
c.         penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d.         penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e.         penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
 (3)       Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a.         1.         bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
            2.         harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b.         warisan;
c.         harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d.         penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e.         pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f.          dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1.         dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2.         bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
g.         iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h.         penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i.          bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditr yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
j.          dihapus;
k.         penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1.         merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
2.         sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
l.          beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m.        sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
n.         bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.